Minggu, 20 Februari 2011

Tanya Jawab : Tentang Jama' dan Qashar


Pertanyaan : “Apakah shalat Jama’ dan Qashar boleh berselang? “


Jawaban :


Shalat qashar dan shalat jama’ termasuk kemurahan ِAllah I untuk kaum muslimin. Yang dimaksud dengan shalat qashar yaitu melaksanakan shalat Dhuhur atau Ashar, atau Isya -- dalam perjalanan dengan jarak tertentu -- hanya dengan dua rakaat (yang biasanya empat-empat).


وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا إِنَّ الْكَافِرِينَ كَانُوا لَكُمْ عَدُوًّا مُبِينًا [النساء/101]

Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu menqashar shalat(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu. (QS An-Nisa (4) : 101)


صحيح مسلم - (ج 3 / ص 462/1108) : حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَأَبُو كُرَيْبٍ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَإِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ قَالَ إِسْحَقُ أَخْبَرَنَا وَقَالَ الْآخَرُونَ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ إِدْرِيسَ عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ عَنْ ابْنِ أَبِي عَمَّارٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بَابَيْهِ عَنْ يَعْلَى بْنِ أُمَيَّةَ قَالَ ) قُلْتُ لِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ { لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنْ الصَّلَاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمْ الَّذِينَ كَفَرُوا } فَقَدْ أَمِنَ النَّاسُ فَقَالَ عَجِبْتُ مِمَّا عَجِبْتَ مِنْهُ فَسَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ فَقَالَ صَدَقَةٌ تَصَدَّقَ اللَّهُ بِهَا عَلَيْكُمْ فَاقْبَلُوا صَدَقَتَه(و حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَبِي بَكْرٍ الْمُقَدَّمِيُّ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ قَالَ حَدَّثَنِي عَبْدُ الرَّحْمنِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي عَمَّارٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بَابَيْهِ عَنْ يَعْلَى بْنِ أُمَيَّةَ قَالَ قُلْتُ لِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ بِمِثْلِ حَدِيثِ ابْنِ إِدْرِيسَ

(Sahih Muslim / juz 3 / hal 462 / hadits no 1108): Dan telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah dan Abu Kuraib dan Zuhair bin Harb dan Ishaq bin Ibrahim. Ishaq mengatakan; telah mengabarkan kepada kami, sedangkan yang lainnya mengatakan; telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Idris dari Ibnu Juraij dari Ibnu Abu Ammar dari Abdullah bin Babaihi dari Ya'la bin 'Umayyah, katanya; "Aku berkata kepada Umar bin Khattab mengenai ayat yang berbunyi Tak ada dosa atasmu meng-qashar shalat, jika kamu khawatir terhadap orang-orang kafir yang hendak memberi cobaan kepadamu." QS. Annisa'; 101, sementara manusia saat ini dalam kondisi aman (maksudnya tidak dalam kondisi perang)." Umar menjawab; "Sungguh aku juga pernah penasaran tentang ayat itu sebagaimana kamu penasaran, lalu aku tanyakan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tentang ayat tersebut, beliau lalu menjawab: "Itu (mengqashar shalat) adalah sedekah yang Allah berikan kepada kalian. Oleh karena itu, terimalah sedekah-Nya." Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abu Bakr Al Muqaddami, telah menceritakan kepada kami Yahya dari Ibnu Juraij katanya; telah menceritakan kepadaku Abdurrahman bin Abdullah bin Abu 'Ammar dari Abdullah bin Babaihi, dari Ya'la bin 'Umayyah katanya; Aku pernah bertanya kepada Umar bin Khatthab semisal hadis Ibnu Idris.


صحيح مسلم - (ج 3 / ص 466 / ح 1112 ) : حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ بْنِ قَعْنَبٍ حَدَّثَنَا عِيسَى بْنُ حَفْصِ بْنِ عَاصِمِ بْنِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ عَنْ أَبِيهِ قَالَ ) صَحِبْتُ ابْنَ عُمَرَ فِي طَرِيقِ مَكَّةَ قَالَ فَصَلَّى لَنَا الظُّهْرَ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ أَقْبَلَ وَأَقْبَلْنَا مَعَهُ حَتَّى جَاءَ رَحْلَهُ وَجَلَسَ وَجَلَسْنَا مَعَهُ فَحَانَتْ مِنْهُ الْتِفَاتَةٌ نَحْوَ حَيْثُ صَلَّى فَرَأَى نَاسًا قِيَامًا فَقَالَ مَا يَصْنَعُ هَؤُلَاءِ قُلْتُ يُسَبِّحُونَ قَالَ لَوْ كُنْتُ مُسَبِّحًا لَأَتْمَمْتُ صَلَاتِي يَا ابْنَ أَخِي إِنِّي صَحِبْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي السَّفَرِ فَلَمْ يَزِدْ عَلَى رَكْعَتَيْنِ حَتَّى قَبَضَهُ اللَّهُ وَصَحِبْتُ أَبَا بَكْرٍ فَلَمْ يَزِدْ عَلَى رَكْعَتَيْنِ حَتَّى قَبَضَهُ اللَّهُ وَصَحِبْتُ عُمَرَ فَلَمْ يَزِدْ عَلَى رَكْعَتَيْنِ حَتَّى قَبَضَهُ اللَّهُ ثُمَّ صَحِبْتُ عُثْمَانَ فَلَمْ يَزِدْ عَلَى رَكْعَتَيْنِ حَتَّى قَبَضَهُ اللَّهُ وَقَدْ قَالَ اللَّهُ { لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ }(

(Sahih Muslim / juz 3 / hal 466 / hadits no 1112) : Dan telah menceritakan kepada kami 'Abdullah bin Maslamah bin Qa'nab telah menceritakan kepada kami 'Isa bin Hafsh bin 'Ashim bin 'Umar bin Khattab dari Ayahnya katanya; "Aku pernah menemani Ibnu 'Umar di suatu jalan di Makkah, Ayahh Isa bin 'Ashim berkata; "Dia lalu shalat zhuhur dua raka'at mengimami kami, setelah itu dia berjalan dan aku pun berjalan bersamanya hingga dia mendatangi barang-barang bawaannya. Lalu dia duduk dan aku duduk bersamanya, kemudian dia menoleh ke tempat yang sebelumnya beliau pergunakan untuk shalat. Dia melihat orang-orang berdiri, dia bertanya; "Apa yang sedang mereka lakukan?" Aku menjawab; "Mereka tengah melakukan shalat sunnah!" Ibnu Umar berkata; "Sekiranya aku melakukan shalat sunnah, niscaya aku akan menyempurnakan shalatku (maksudnya shalat wajibnya tidak diqashar) wahai anak saudaraku, aku pernah menemani Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dalam safar, beliau tidak menambah lebih dari dua rakaat hingga Allah mewafatkannya, dan aku juga pernah menemani Abu Bakar, namun dia tidak pernah (mengerjakan shalat) lebih dari dua rakaat hingga Allah mewafatkannya, aku juga pernah menemani Umar bin Khattab, namun dia tidak pernah (mengerjakan shalat) lebih dari dua rakaat hingga Allah mewafatkannya, kemudian aku menemani Utsman bin Affan, namun dia tidak pernah (mengerjakan shalat) lebih dari dua rakaat hingga Allah mewafatkannya, sedangkan Allah berfirman; Sungguh pada diri Rasulullah terdapat teladanan yang baik bagimu." (QS. Ahzab : 21).


Hadits ini menegaskan bahwa shalat sunat rawatib dalam perjalanan tidak dilakukan Rasulullah r dan para sahabatnya sampai mereka meninggal dunia, dan Ibnu Umar t menegaskan shalat wajib saja dipersingkat menjadi 2 rakaat apalagi shalat sunat maka jelas tidak penah dilakukan selama dalam perjalanan sebagai sebuah sedekah/keringanan dari Allah I.


سنن النسائي - (ج 5 / ص 3351439) : أَخْبَرَنِي أَحْمَدُ بْنُ يَحْيَى الصُّوفِيُّ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ قَالَ حَدَّثَنَا الْعَلَاءُ بْنُ زُهَيْرٍ الْأَزْدِيُّ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ الْأَسْوَدِ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا اعْتَمَرَتْ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ الْمَدِينَةِ إِلَى مَكَّةَ حَتَّى إِذَا قَدِمَتْ مَكَّةَ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّي قَصَرْتَ وَأَتْمَمْتُ وَأَفْطَرْتَ وَصُمْتُ قَالَ أَحْسَنْتِ يَا عَائِشَةُ وَمَا عَابَ عَلَيَّ

(Nasa’i – 1439) :Telah mengabarkan kepadaku Ahmad bin Yahya Ash Shufi dia berkata; telah menceritakan kepada kami Abu Nu'aim dia berkata; telah menceritakan kepada kami Al 'Alaa bin Zuhair Al Azdi dia berkata; telah menceritakan kepada kami 'Abdurrahman bin Al Aswad dari 'Aisyah bahwasanya ia melaksanakan umrah bersama Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wa Sallam dari Madinah ke Makkah. Tatkala sampai di Makkah Aisyah berkata; Wahai Rasulullah, demi Bapak dan Ibuku, bagaimana engkau mengqashar shalat padahal aku menyempurnakan shalatku, dan engkau berbuka sedangkan aku berpuasa? Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wa sallam menjawab: Engkau telah berbuat baik wahai 'Aisyah, namun aku pun tidak tercela.



Shalat Qashar


Untuk dapat keringanan shalat qashar tersebut, jarak perjalanan minimal sejauh dua marhalah (menurut kitab Tanwiir al-Qulub hal. 172, dua marhalah sama dengan 16 pos atau 48 mil = 80,640km). Tetapi pendapat ini kurang kuat karena merupakan ijtihad seseorang ulama dan tidak ada hadits yang menguatkan.


Pendapat yang kuat berdasarkan hadits dikatakan bahwa qashar boleh ketika jarak perjalanan 3 mil jauhnya berdasarkan hadits – hadits dibawah ini :


مسند أحمد - (ج 24 / ص 41011864) : حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ يَحْيَى بْنِ يَزِيدَ الْهُنَائِيِّ قَالَ سَأَلْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ عَنْ قَصْرِ الصَّلَاةِ قَالَ كُنْتُ أَخْرُجُ إِلَى الْكُوفَةِ فَأُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ حَتَّى أَرْجِعَ وَقَالَ أَنَسٌ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَرَجَ مَسِيرَةَ ثَلَاثَةِ أَمْيَالٍ أَوْ ثَلَاثَةِ فَرَاسِخَ شُعْبَةُ الشَّاكُّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ
(AHMAD - 11864) : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja'far berkata, telah menceritakan kepada kami Syu'bah dari Yahya bin Yazid Al Huna`i berkata; aku bertanya kepada Anas bin Malik tentang menqashar shalat, lalu ia berkata; "Aku pernah keluar dari Kufah, dan aku shalat dua raka'at hingga aku kembali pulang." Lalu Anas berkata; "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam jika keluar untuk safar pada perjalanan sejauh tiga mil, " atau ia menyebutkan, "tiga farsah, " Syu'bah menyebutkan; "beliau shalat dua raka'at."


سنن أبي داود - (ج 3 / ص 437/ ح 1015) : حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ يَحْيَى بْنِ يَزِيدَ الْهُنَائِيِّ قَالَ سَأَلْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ عَنْ قَصْرِ الصَّلَاةِ فَقَالَ أَنَسٌ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَرَجَ مَسِيرَةَ ثَلَاثَةِ أَمْيَالٍ أَوْ ثَلَاثَةِ فَرَاسِخَ شَكَّ شُعْبَةُ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ

(ABUDAUD - 1015) : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyar telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja'far telah menceritakan kepada kami Syu'bah dari Yahya bin Yazid Al Huna`i dia berkata; saya bertanya kepada Anas bin Malik tentang mengqashr shalat, maka Anas menjawab; "Apabila Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bepergian sejauh perjalanan tiga mil atau tiga farsakh -Syu'bah ragu- maka beliau shalat dua raka'at."


صحيح مسلم - (ج 3 / ص 470/ ح 1116) : حَدَّثَنَاه أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَمُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ كِلَاهُمَا عَنْ غُنْدَرٍ قَالَ أَبُو بَكْرٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ غُنْدَرٌ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ يَحْيَى بْنِ يَزِيدَ الْهُنَائِيِّ قَالَ سَأَلْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ عَنْ قَصْرِ الصَّلَاةِ فَقَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَرَجَ مَسِيرَةَ ثَلَاثَةِ أَمْيَالٍ أَوْ ثَلَاثَةِ فَرَاسِخَ شُعْبَةُ الشَّاكُّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ

( Muslim – 1116) : Dan telah menceritakan kepada kami Abu bakar bin Abu Syaibah dan Muhammad bin Basyar keduanya dari Ghundar. Abu Bakr mengatakan; telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja'far yatiu Ghundar dari Syu'bah dari Yahya bin Zaid Al Huna'i, katanya; "Aku pernah bertanya kepada Anas bin Malik tentang mengqashar shalat. Dia menjawab; "Jika Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam keluar sejauh tiga mil, atau tiga farsakh -syu'bah ragu- maka beliau melakukan shalat dua rakaat."


Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani mengatakan : Saya menilai hadits ini sanadnya jayyid (bagus). Semua perawinya tsiqah (kuat),yakni para perawi Asy-Syaikhain, kecuali Al-Hanna’i dimana dia adalah perawi Muslim. Namun segolongan orang-orang tsiqah juga telah meriwayatkan darinya.


(Al-Farsakh) berarti tiga mil. Dan satu mil adalah sejauh mata memandang ke bumi, dimana mata akan kabur ke atas permukaan tanah sehingga tidak mampu lagi menangkap pemandangan. Demikianlah penjelasan Al-Jauhari. Namun dikatakan pula ; batas satu mil adalah jika dikira-kira dengan memandang kepada seseorang di kejauhan, kemudian tidak diketahui apakah dia laki-laki atau perempuan dan dia hendak pergi atau hendak datang, seperti keterangan dalam Al-Fath (2/467). Dan menurut ukuran sebagian ulama sekarang adalah sekitar 1748 meter. Jadi tiga mil = 3 x 1748 = 5244 m atau dibulatkan 5,3 km dalam fikih sunnah Sayid Sabiq satu farsakh 5,54 km

Kandungan Hukumnya : Hadits ini menjelaskan bahwa jika seseorang pergi sejauh tiga farsakh (18 km, karena satu farsakh dibulatkan sekitar 6 km), maka dia boleh mengqashar shalat. Al-Khuththabi telah menjelaskan dalam Ma’alimus Sunan (2/49) : “Meskipun hadits ini telah menetapkan bahwa jarak tiga farsakh merupakan batas dimana boleh melakukan qashar shalat, namun sungguh saya tidak mengetahui seorangpun dari ulama fiqih yang berpendapat demikian”.

Dalam hal ini ada beberapa pertimbangan :

Pertama : Bahwa hadits ini memang tetap seperti semula, namun Imam Muslim mengeluarkannya dan tidak dinilai lemah oleh imam hadits lainnya.

Kedua : Hadits ini tidak berbahaya dan boleh saja diamalkan. Soal tidak mengetahui adanya seorangpun ulama fiqih yang mengatakan demikian, itu tidak menghalangi untuk mengamalkan hadits ini. Tidak menemukan bukan berarti tidak ada.

Ketiga : Sesungguhnya perawinya telah mengatakan demikian, yaitu Anas bin Malik. Sedang Yahya bin Yazid Al-Hanna’i, sebagai perawinya juga telah berfatwa demikian. Bahkan telah berlaku pula dari sebagian sahabat yang melakukan shalat qashar dalam perjalanan yang lebih pendek daripada jarak itu. Maka Ibnu Abi Syaibah (2/108/1) telah meriwayatkan pula dari Muhammad bin Zaid bin Khalidah, dari Ibnu Umar yang menuturkan : “Shalat itu boleh diqashar dalam jarak sejauh tiga mil”. Hadits ini sanadnya shahih. Seperti yang telah saya (Al Albani) jelaskan dalam Irwa’ul Ghalil (no. 561).

Kemudian diriwayatkan dari jalur lain yang juga berasal dari Ibnu Umar
(mengqashar shalat bisa lebih pendek dari 3 farsakh) bahwa dia berkata : “Sesunguhnya aku pergi sesaat pada waktu siang dan aku mengqashar (shalat)”.

Hadits ini sanadnya juga shahih, dan dishahihkan pula oleh Al-Hafidz dalam Al-Fath (2/467). Kemudian dia meriwayatkan dari Ibnu Umar (2/111/1) : “Sesungguhnya dia mukim di Makkah dan manakala dia keluar ke Mina, dia mengqashar (shalat)”.


Hadits ini sanadnya juga shahih, dan dikuatkan. Apabila penduduk Makkah hendak keluar bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Mina, dalam haji Wada’, maka mereka mengqashar shalat juga sebagaimana yang diriwayatkan dalam kitab-kitab hadits lainnya. Sedangkan jarak antara Makkah dan Mina hanya satu farsakh ( 6 km). Ini seperti keterangan dalam Mu’jamul Buldan.


Sementara itu Jibilah bin Sahim memberitahukan : “Aku mendengar Ibnu Umar berkata : “Kalau aku keluar satu mil, maka aku mengqashar shalat”. Hadits ini disebutkan pula oleh Al-Hafidz dan dinilainya shahih. Hal ini tidak menafikan terhadap apa yang terdapat dalam Al-Muwatha maupun lainnya dengan sanad-sanadnya yang shahih, dari Ibnu Umar, bahwa dia mengqashar dalam jarak yang jauh daripada itu. Juga tidak menafikan jarak perjalanan yang lebih pendek daripada itu. Nash-nash yang telah saya sebutkan adalah jelas memperbolehkan mengqashar shalat dalam jarak yang lebih pendek dari pada itu. Ini tidak bisa disanggah, terlebih lagi karena adanya hadits yang menunjukkan lebih pendek lagi daripada itu.

Al-Hafidzh Ibnu Hajar telah menandaskan di dalam Al-Fath (2/467-468) : “Sesunguhnya hadits itu merupakan hadits yang lebih shahih dan lebih jelas dalam menerangkan soal ini. Adapun ada yang berbeda dengannya mungkin soal jarak diperbolehkannya mengqashar, dimana bukan batas akhir perjalanannya.

Apalagi Al-Baihaqi juga menyebutkan bahwa Yahya bin Yazid bercerita : “Saya bertanya kepada Anas tentang mengqashar shalat. Saya keluar Kufah, yakni Bashrah, saya shalat dua raka’at dua raka’at, sampai saya kembali. Maka Anas berkata ; (kemudian menyebutkan hadits ini)”. Jadi jelas bahwa Yahya bin Yazid bertanya kepad Anas tentang diperbolehkannya mengqashar shalat dalam bepergian, bukan tentang tempat dimana dimulai shalat qashar. Kemudian yang benar dalam hal ini adalah bahwa soal qashar itu tidak dikaitkan dengan jarak perjalanan tetapi shalat qhasar bisa dilakukan ketika seseorang telah melewati batas daerah dimana dia tinggal. Al-Qurthubi menyanggahnya sebagai sesuatu yang diragukan, sehingga tidak dapat dijadikan pegangan. Jika yang dimaksudkannya adalah bahwa jarak tiga mil itu tidak bisa dijadikan pegangan adalah bagus. Akan tetapi tidak ada larangan untuk berpegang pada batas tiga farsakh. Karena tiga mil memang terlalu sedikit maka diambil yang lebih banyak sebagai sikap berhati-hati.

Ibnu Abi Syaibah telah meriwayatkan dari Hatim bin Ismail, dari Abdurrahman bin Harmilah yang menuturkan : “Aku bertanya kepada Sa’id bin Musayyab : “Apakah boleh mengqashar shalat dan berbuka di Burid dari Madinah ?” Dia menjawab : “Ya”. Wallahu a’lam. Saya (Al Albani) berkata : Sanad atsar ini, menurut Ibnu Abi Syaibah (2/15/1) adalah shahih.

Diriwayatkan dari Allajlaj, dia menceritakan, “Kami pergi bersama Umar Radhiyallahu ‘anhu sejauh tiga mil, maka kami diberi keringanan dalam shalat dan kami berbuka”. Hadits ini sanadnya cukup memadai untuk perbaikan. Semua adalah tsiqah, kecuali Abil Warad bin Tsamamah, dimana hanya ada tiga orang meriwayatkan darinya. Ibnu Sa’ad mengatakan : “Dia itu dikenal sedikit haditsnya”.


Atsar-atsar itu menunjukkan diperbolehkan melakukan shalat qashar dalam
jarak yang lebih pendek daripada apa yang terdapat dalam hadits tersebut. Ini sesuai dengan pemahaman para sahabat Radhiyallahu anhum. Karena dalam Al-Kitab maupun As-Sunnah, kata safar (bepergian) adalah mutlak, tidak dibatasi oleh jarak tertentu, seperti firman Allah Subhanahu wa Ta’ala. “Artinya : Dan apabila kamu berpergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar shalat….”
[An-Nisaa : 101]

Dengan demikian maka tidak ada pertentangan antara hadits tersebut dengan atsar-atsar ini. Karena ia memang tidak menafikan diperbolehkannya qashar dalam jarak bepergian yang lebih pendek daripada yang disebutkan di dalam hadits tersebut.

Oleh karena itu Al-Allamah Ibnul Qayyim dalam Zadul Ma’ad Fi Hadyi Khairil ‘Ibad (juz I, hal. 189) mengatakan : “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membatasi bagi umatnya pada jarak tertentu untuk mengqashar shalat dan berbuka. Bahkan hal itu mutlak saja bagi mereka mengenai jarak perjalanan itu. Sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersilahkan kepada mereka untuk bertayamum dalam setiap bepergian. Adapun mengenai riwayat tentang batas sehari, dua hari atau tiga hari, sama sekali tidak benar. Wallahu ‘alam”.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan : “Setiap nama (makna) dimana tidak ada batas tertentu baginya dalam bahasa maupun agama, maka dalam hal itu dikembalikan kepada pengertian umum saja, sebagaimana ‘bepergian” dalam pengertian kebanyakan orang yaitu bepergian dimana Allah mengaitkannya dengan suatu hukum”.

Para ulama telah berbeda pendapat mengenai jarak perjalanan diperbolehkannya qashar shalat. Dalam hal ini ada lebih dari dua puluh pendapat. Namun apa yang kami sebutkan dari pendapat Ibnul Qayyim dan Ibnu Taimiyah adalah yang paling mendekati kebenaran, dan lebih sesuai dengan kemudahan Islam.

Sementara itu Ibnul Mundzir berpendapat bahwa boleh qashar setelah meninggalkan rumah. Tapi hendaknya seseorang menyempurnakan sesuatu yang perlu disempurnakan sehingga dia diperbolehkan mengqashar shalat. Ibnul Mundzir berkata lagi : “Sungguh saya tidak mengetahui bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengqashar shalat dalam suatu perjalanannya, kecuali setelah keluar dari Madinah”. Saya (Al Albani) menemukan : Sesungguhnya hadits-hadits yang semakna dengan hadits ini adalah banyak. Saya telah mengeluarkan sebagian darinya dalam Al-Irwa’ yaitu dari hadits Anas, Abi Hurairah, Ibnu Abbas dan lain-lainnya. Silahkan periksa no. 562 ! [Disalin dari buku Silsilah Al-Hadits Ash-Shahihah Wa Syaiun Min Fiqhiha Wa Fawaaidiha, edisi Indonesia Silsilah Hadits Shahih dan Sekelumit Kandungan Hukumnya, karya Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, terbitan CV. Pustaka Mantiq, hal. 362-367 penerjemah Drs.H.M.Qadirun Nur]

Untuk dapat mengqashar shalat empat rakaat menjadi dua rakaat, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, di samping jarak minimal tadi ( 3 farsakh = 18 km), antara lain:

· Kepergian atau perjalanan yang bersangkutan bukan dalam rangka maksiat (misalnya orang yang pergi melarikan diri dari tanggung jawab tidak boleh mengqasar shalat).

· Kepergiannya menuju tujuan yang jelas (orang yang bingung pergi tanpa arah tujuan, tidak boleh).

· Ketika takbiratul ihram harus berniat qashar.



Sampai berapa lama seseorang boleh mengqashar shalatnya dalam bepergian?

فقه السنة – (ج 1 / ص 285) : المسافر يقصر الصلاة ما دام مسافرا فإن أقام لحاجة ينتظر قضاءها قصر الصلاة كذلك لانه يعتبر مسافرا وإن أقام سنين، فإن نوى الاقامة مدة معينة فالذي اختاره ابن القيم أن الاقامة لا تخرج عن حكم السفر سواء طالت أم قصرت ما لم يستوطن المكان الذي أقام فيه. وللعلماء في ذلك آراء كثيرة، لخصها ابن القيم وانتصر لرأيه فقال: (أقام رسول الله صلى الله عليه وسلم بتبوك عشرين يوما يقصر الصلاة ولم يقل للامة لا يقصر الرجل الصلاة إذا أقام أكثر من ذلك، ولكن اتفق إقامته هذه المدة). وهذه الاقامة في حال السفر لا تخرج عن حكم السفر سواء طالت أم قصرت إذا كان غير مستوطن ولا عازم على الاقامة بذلك الموضع، وقد اختلف السلف والخلف في ذلك اختلافا كثيرا. ففي صحيح البخاري عن ابن عباس قال: (أقام النبي صلى الله عليه وسلم في بعض أسفاره تسع عشرة يصلي ركعتين فنحن إذا أقمنا تسع عشرة نصلي ركعتين وإن زدنا على ذلك أتممنا).

Didalam fiqih sunnahnya Sayid Sabiq : seseorang musafir itu boleh terus mengqashar sholatnya selama ia masih dalam keadaan bepergian. Jika ia bermukim di suatu tempat karena sesuatu keperluan yang hendak diselesaikannya, maka ia tetap boleh mengqashar, sebab masih terhitung dalam bepergian walaupun bermukimnya disana sampai bertahun-tahun lamanya.

Adapun kalau ia bermaksud hendak bermukim disana dalam waktu tertentu, maka menurut pendapat yang terkuat yang dipilih oleh Ibnul Qayyum, bermukimnya itu tidak menghilangkan hukum bepergian, baik lama ataupun sebentar, selama ia tidak berniat menjadi penduduk tetap disana itu. Dalam hal ini para ulama mempunyai berbagai pendapat, dan diringkaskan oleh Ibnul Qayyum sambil memperkuat pendapatnya sendiri sebagai berikut :

مسند أحمد - (ج 28 / ص 17413625) و سنن أبي داود - (ج 3 / ص 4771046) : حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِيرٍعَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ ثَوْبَانَ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ أَقَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِتَبُوكَ عِشْرِينَ يَوْمًا يَقْصُرُ الصَّلَاةَ

Telah bercerita kepada kami Abdurrazaq telah menghabarkan kepada kami Ma'mar dari Yahya bin Abu Katsir dari Muhammad bin Abdurrahman bin Tsauban dari Jabir bin Abdullah berkata; "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bermukim di Tabuk selama duapuluh hari dengan mengqoshor Shalat".


Dengan hadits ini Ibnul Qayum menegaskan bahwa tidak ada larangan untuk umat Rasulullah jika tidak boleh mengqashar sholat jika lebih dari waktu yang ada di dalam hadits, hanya kebetulan saja hadits di perang Tabuk hanya 20 hari. Bermukim dalam waktu sedang bepergian, tak dapat dianggap sudah keluar dari hukum bepergian, baik lama atau sebentar, asal saja tidak bermaksud untuk menetap di sana sebagai penduduk. Dikalangan para ulama salaf dan khalaf banyak pertentangan dalam masalah ini. Dalam shahih Bukhari Ibnu Abbas meriwayatkan :

صحيح البخاري - (ج 4 / ص 223/ ح 1018) :حَدَّ ثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ قَالَ حَدَّثَنَا أَ بُو عَوَانَةَ عَنْ عَاصِمٍ وَ حُصَيْنٍ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ ) أَقَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تِسْعَةَ عَشَرَ يَقْصُرُ فَنَحْنُ إِذَا سَافَرْنَا تِسْعَةَ عَشَرَ قَصَرْنَا وَإِنْ زِدْنَا أَتْمَمْنَا(

(Sahih BUKHARI / juz 4 / hal 223 / hadits no 1018) : Telah menceritakan kepada kami Musa bin Isma'il berkata, telah menceritakan kepada kami Abu 'Awanah dari 'Ashim dari Hushain dari 'Ikrimah dari Ibnu 'Abbas radliallahu 'anhuma berkata: "Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pernah menetap (dalam bepergian) selama sembilan belas hari dengan mengqashar (meringkas) shalat. Maka kami bila bepergian selama sembilan belas hari mengqashar solat. Bila lebih dari itu, kami menyempurnakan shalat".


Ada juga hadits-hadits yang lain :

صحيح البخاري - (ج 13 / ص 1943959) : حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ ح حَدَّثَنَا قَبِيصَةُ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي إِسْحَاقَ عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ) أَقَمْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَشْرًا نَقْصُرُ الصَّلَاةَ (

(Sahih BUKHARI / juz 13 / hal 194 / hadits no 3959): Telah menceritakan kepada kami Abu Nu'aim Telah menceritakan kepada kami Sufyan -lewat jalur periwayatan lain-Telah menceritakan kepada kami Qabishah telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Yahya bin Abu Ishaq dari Anas radliallahu 'anhu, katanya, kami bermukim bersama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam sepuluh hari, dan sekian hari itu kami melakukan qashar.


صحيح البخاري - (ج 13 / ص 1963961) : حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا أَبُو شِهَابٍ عَنْ عَاصِمٍ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ) أَقَمْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ تِسْعَ عَشْرَةَ نَقْصُرُ الصَّلَاةَ وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ وَنَحْنُ نَقْصُرُ مَا بَيْنَنَا وَبَيْنَ تِسْعَ عَشْرَةَ فَإِذَا زِدْنَا أَتْمَمْنَا(

(Sahih BUKHARI / juz 13 / hal 194 / hadits no 3961): Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Yunus Telah menceritakan kepada kami Abu Syihab dari 'Ashim dari Ikrimah dari Ibnu Abbas katanya, “kami tinggal bersama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dalam sebuah safar selama sembilan belas hari, yang sekian lama itu pula kami lakukan qashar. Kata Ibnu Abbas, dan kami melakukan qashar ketika kami bermukim sekitar selama sembilan belas hari, namun apabila lebih, tentu kami lakukan shalat dengan sempurna."


Dari hadits-hadits tersebut ada yang berpendapat bahwa batas qashar adalah 20 hari, 10 hari atau 19 hari, tetapi beberapa ulama sepakat mengambil waktu yang terpanjang 20 hari sesuai keterangan perang tabuk.

Akan tetapi jika melihat amalan para sahabat, yang hidup sezaman dengan nabi maka kita bisa melihat beberapa contoh amalan yang tidak bisa dipungkiri bahwa mereka melakukan qashar lebih dari waktu 20 hari, lihat kisah berikut :

فقه السنة - (ج 1 / ص 286) : قال المسور بن مخرمة: (أقمنا مع سعد ببعض قرى الشام أربعين ليلة يقصرها سعد ونتمها). وقال نافع: (أقام ابن عمر بأذربيجان ستة أشهر يصلي ركعتين وقد حال الثلج بينه وبين الدخول). وقال حفص بن عبيدالله: (أقام أنس بن مالك بالشام سنتين يصلي صلاة المسافر). وقال أنس: أقام أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم برام هرمز سبعة أشهر يقصرون الصلاة). وقال الحسن: (أقمت مع عبد الرحمن ابن سمرة بكابل سنتين يقصر الصلاة ولا يجمع). وقال إبراهيم: (كانوا يقيمون بالري السنة وأكثر من ذلك وسجستان السنتين). فهذا هدي النبي صلى الله عليه وسلم وأصحابه كما ترى وهو الصواب.

Miswar bin Makhramah berkata : “ Kami bermukin dengan Sa’ad di salah satu desa di wilayah Syam selama empat puluh hari, selama itu Sa’ad tetap mengqashar tapi kami mencukupkan (menyempurnakan shalat tidak qashar)”.


Berkata Nafi’ : “Abdullah bin Umar bermukin di Azerbayjan enam bulan dan tetap bershalat 2 rakaat karena tertahan oleh musim salju ketika memasuki kota tersebut ”.


Hafash bin Ubaidullah mengatakan bahwa bahwa Anas bin Malik bermukim di Syam dua tahun dan terus bershalat sebagai seorang musafir.


Dan Anas bin Malik berkata : “Para sahabat nabi bermukin di Ramhurmuz selama tujuh bulan dan tetap mengqashar shalat.


Hasan berkata pula : ”Ia bermukim dengan Abdurahman bin Samurah di Kabul selama dua tahun, dan Abdurahman terus mengqashar tapi tidak menjama’ “.


Ibrahim berkata : “Para sahabat pernah bermukim di Rai selama satu tahun atau lebih, dan di Sajistan selama dua tahun, dan mereka tetap mengqashar shalat”.


Inilah para sahabat yang senantiasa mengikuti petunjuk Rasulullah karena diberikan contoh oleh Rasulullah.


Tetapi boleh juga menyempurnakan shalat setelah bermukin lebih dari tiga hari, begitu ijtihad Imam Syafi’i dan Imam Ahmad walaupun tidak ada cerita para sahabat dan hadits yang menguatkan. Kedua Imam ini ber ijtihad sesuai dengan dimulyakannya tamu selama tiga hari, dan keempat tidak di jamu lagi karena dianggap telah menetap, sehingga untuk sholatpun bagi yang bepergian lebih dati tiga hari maka di hari keempatnya tidak mengqashar tetapi menyempurnakan.

صحيح البخاري - (ج 19 / ص 1025670) : حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي شُرَيْحٍ الْكَعْبِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ جَائِزَتُهُ يَوْمٌ وَلَيْلَةٌ وَالضِّيَافَةُ ثَلَاثَةُ أَيَّامٍ فَمَا بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ صَدَقَةٌ وَلَا يَحِلُّ لَهُ أَنْ يَثْوِيَ عِنْدَهُ حَتَّى يُحْرِجَهُ حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ قَالَ حَدَّثَنِي مَالِكٌ مِثْلَهُ وَزَادَ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ

(BUKHARI - 5670) : Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Yusuf telah mengabarkan kepada kami Malik dari Sa'id bin Abu Sa'id Al Maqburi dari Abu Suraih Al Ka'bi bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaknya ia memuliakan tamunya dan menjamunya siang dan malam, dan bertamu itu tiga hari, lebih dari itu adalah sedekah baginya, tidak halal bagi tamu tinggal (bermalam) hingga (ahli bait) mengeluarkannya." Telah menceritakan kepada kami Isma'il dia berkata; telah menceritakan kepadaku Malik seperti hadits di atas, dia menambahkan; "Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaknya berkata baik atau diam."

Ada juga sebagian pendapat yang tetap pada pendirian untuk menyempurnakan shalatnya dengan dasar dalil :

سنن النسائي - (ج 5 / ص 3351439) : أَخْبَرَنِي أَحْمَدُ بْنُ يَحْيَى الصُّوفِيُّ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ قَالَ حَدَّثَنَا الْعَلَاءُ بْنُ زُهَيْرٍ الْأَزْدِيُّ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ الْأَسْوَدِ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا اعْتَمَرَتْ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ الْمَدِينَةِ إِلَى مَكَّةَ حَتَّى إِذَا قَدِمَتْ مَكَّةَ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّي قَصَرْتَ وَأَتْمَمْتُ وَأَفْطَرْتَ وَصُمْتُ قَالَ أَحْسَنْتِ يَا عَائِشَةُ وَمَا عَابَ عَلَيَّ

(Nasa’i – 1439) :Telah mengabarkan kepadaku Ahmad bin Yahya Ash Shufi dia berkata; telah menceritakan kepada kami Abu Nu'aim dia berkata; telah menceritakan kepada kami Al 'Alaa bin Zuhair Al Azdi dia berkata; telah menceritakan kepada kami 'Abdurrahman bin Al Aswad dari 'Aisyah bahwasanya ia melaksanakan umrah bersama Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wa Sallam dari Madinah ke Makkah. Tatkala sampai di Makkah Aisyah berkata; Wahai Rasulullah, demi Bapak dan Ibuku, bagaimana engkau mengqashar shalat padahal aku menyempurnakan shalatku, dan engkau berbuka sedangkan aku berpuasa? Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wa sallam menjawab : Engkau telah berbuat baik wahai 'Aisyah, namun aku pun tidak tercela.

Tetapi saya sendiri cenderung untuk mengqashar dan memakai anugrah rukhshakh dari Allah serta mengikuti pendapat Rasulullah dan mengangungkan sedekah dari Allah. Wallahu ‘alam.



Shalat Jama’


Sedangkan shalat jama’; mengerjakan shalat dua waktu hanya dalam satu waktu yaitu shalat Maghrib dan Isya dikerjakan sekaligus di waktu Maghrib (jama' taqdim) atau sekaligus di waktu Isya (jama' ta’khir), atau shalat Dhuhur dan Ashar dikerjakan sekaligus pada waktu Dhuhur (taqdiim) atau pada waktu Ashar (ta’khir).


Sedangkan untuk jama’:


a. Jama' taqdiim (mengerjakan pada waktu pertama: pada waktu Dhuhur atau Maghrib) antara lain disyaratkan:

o Mengerjakan tertib; Dhuhur atau Maghrib dulu, baru Ashar atau Isyanya.

o Niat jama' (mengumpulkan) shalat Dhuhur dan Ashar pada waktu mengerjakan shalat Dhuhur, atau Maghrib dan Isya pada waktu mengerjakan shalat Maghrib. Sebaiknya pada waktu takbiratul ikhram shalat yang pertama (Dhuhur/Maghrib)

o Sehabis mengerjakan shalat yang pertama (Dhuhur atau Maghrib), langsung mengerjakan shalat kedua (Ashar atau Isya), dan tanpa jeda atau selang, kecuali karena darurat.


b. Jama' ta’khiir (mengerjakan pada waktu kedua: pada waktu Ashar atau Isya) disyaratkan niat jama’nya sebelum habis waktu shalat yang pertama.


Catatan tambahan: Shalat Subuh tidak boleh diqashar atau dijamak. Sedangkan shalat Maghrib hanya bisa dijamak dengan Isya dan tidak boleh diqashar. Mereka yang memenuhi syarat, boleh sekaligus menjamak dan mengqasar. (Lebih jauh bisa melihat kitab-kitab hadis seperti Al-Bukhari dan Mulim, dan sebagainya, atau langsung kitab-kitab fikih). Demikianlah, mudah-mudahan cukup jelas.


Wallahu ‘alam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar